Kamis, 15 Oktober 2015

KOREA oh.. KOREA.. #edisi God's Gift 14 Days

Salam readers... ternyata saya sudah vakum dari blog ini hampir setahun... haha maafkan..
Sibuk dengan urusan pribadi dan kuliah.. lupa blognya udah bersawang dan berdebu.. kudu dibersihin dan ditempatin.. hehe.. 

oke lanjuuut.. 

Sebagaimana yang kita tahu beberapa tahun terakhir ini generasi kita kerasukan virus bernama 'KOREA'. Semua sisi kehidupan kita dijajah secara perlahan oleh makhluk bernama si Korea ini. Tengoklah layar kaca, youtube, fashion, bahasa, bahkan budaya kita sudah mulai berkiblat kesana. Kain korea, sepatu korea, tas korea. Korea.. oh .. Korea. Semua kehidupan kita berbau korea. Penikmatnya bukan hanya kalangan dewasa, tapi semua umur. Tua muda, kaya miskin, laki perempuan. Kerasukan Korea itu 'sesuatu'. Dan kalau gak 'Korea' itu gak keren. 

Dan yang paling masyhur diantara semua adalah...Pilem Korea!!! Para artisnya yang bening dan setting tempat yang unik semakin memanjakan mata para penikmatnya. Pilem Korea yang berSeri-seri dilahap gak pandang bulu temanya apa. Positif atau negatifkah pesan yang terkandung dalam film itu menjadi tak penting lagi. 

Oke, disini saya harus akui bahwa saya pernah dan terkadang masih kerasukan si Korea ini. Kualitas gambar, profesional, dan totalitas mereka dalam berkarya memang patut diacungi jempol. Tidak sedikit film-film mereka mengangkat tema yang tidak pasaran (baca : Cinta-cinta melulu). Mereka mengangkat tema kemanusiaan, mafia, pemerintahan, politik, dunia kedokteran, dll. Dengan alur yang panjang dan berbelit, namun beberapa film cukup cantik mengemasnya. Emosi kita dipermainkan dan air mata tak jarang diperas habis. 

Saat menulis ini, saya sedang berusaha menamatkan satu film berjudul God's Gift 14 Days. Cerita ini masih dalam kategori khayalan, namun bertema detektif. Secara keseluruhan, alurnya cerdas, kita dibuat tenang sesaat ketika penjahat seolah tertangkap, namun dikagetkan bahwa ada yang lebih jahat di atas yang jahat. 
Film ini membawa pesan yang positif dengan penyelesaian yang negatif. Kenapa? Berikut hal-hal yang soroti dalam film ini : 
1. Alur utama film ini adalah seorang ibu yang memutuskan bunuh diri kemudian diberikan kesempatan hidup kembali selama 14 hari setelah kematian anaknya untuk mencegah kematian sang anak dan mengungkap pelaku pembunuhan. Ibu tersebut bunuh diri karena frustasi.
Pesan positif yang ingin disampaikan adalah bahwa setiap orang selalu punya kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya. Dalam masa 14 hari itu dia mengintrospeksi sikapnya dan menyesali karena dulu dia terlalu mengekang sang anak dan kurang mendengar keinginannya. Dia kemudian berubah menjadi ibu yang lebih perhatian namun menjadi over protektif karena waspada dengan orang yang mengincar nyawa anaknya. Ya, memang sesuatu lebih terasa berharga ketika telah kehilangan, sesal memang selalu di akhir. Kehilangan anak membuat dia semakin menyadari betapa berharga anak itu untuknya. 
Namun sisi negatifnya, dia memutuskan bunuh diri daripada menghadapi takdir yang telah digariskan. Kenapa bunuh diri sebenarnya tak harus dipertanyakan, karena itu hanya film, sudah diatur sutradara. Tapi dalam Islam, bunuh diri  adalah suatu akhir hidup yang buruk. Islam mempercayai bahwa takdir adalah skenario terbaik yang menyimpan hikmah. Film ini juga sangat khayalan, karena orang yang sudah mati tidak akan pernah bisa kembali. Sekali lagi ini hanya film. 
2. Menentang takdir. Si Ibu ingin merubah takdir anaknya agar tidak meninggal. Dia berupaya menemukan pembunuh agar tidak bisa menyakiti anaknya. Secara agama, ide ini sangat tidak benar. Takdir adalah kehendak Sang Maha Pencipta dan kita hanya manusia yang tak memiliki daya apapun untuk melawannya. Sungguh jangan sekali-kali berfikir seperti ini, manusia tak ada apa-apanya dibanding kuasa Allah yang Maha Pencipta. Sekali lagi, jangan terbawa pemikiran ini. 
Namun ada nilai positif dibalik kegigihan Ibu ini, kita bisa melihat bahwa begitulah layaknya seorang Ibu, kasih sayangnya tak terbatas. Bahkan nyawanya tak berarti apa-apa demi anaknya. Seringkali anaklah yang tak mengerti bahasa kasih orang tuanya. Ibu ini hanya ibu biasa, bukan detektif, bukan orang yang terlatih dalam bela diri, namun dengan berani mengejar pembunuh berdarah dingin yang telah membunuh banyak nyawa dengan sadis. Namun yang harus digaris bawahi, kasih sayang Ibu tidak boleh bertabrakan dengan kehendak Sang Maha Pencipta. Kasih sayang dan rasa takut kehilangan tidak serta merta membuat dia berani melawan takdir yang merupakan hak mutlak Pencipta. 
3. Menentang hukuman mati. Dalam kisah ini, Ayah sang anak yang meninggal adalah seorang jaksa yang berkeyakinan bahwa hukuman mati menentang hak asasi manusia. Oke, hak asasi manusia adalah sesuatu yang harus ditegakkan. Namun dimanakah hak asasi menusia ketika nyawa yang telah terenggut dengan sadis, keluarga yang ditinggal, hanya dibalas dengan ganti rugi atau kurungan penjara? Tidakkah penting rasa sakit yang ditanggung oleh korban dan keluarganya? Mereka juga punya hak hidup, dan itu adalah hak asasi manusia yang paling mahal. Islam telah menetapkan hukum Qishash yang sangat manusiawi untuk para pembunuh. Darah harus dibayar darah. Kenapa? Agar para pembunuh mendapat ganjaran atas perbuatannya dan memberi efek takut kepada orang yang akan membunuh. Agar tercipta keamanan, dan kelegaan bagi keluarga korban, karena jika tidak justru akan menimbulkan masalah baru yakni tradisi balas dendam yang tak berujung. tentu hukuman mati ini hanya dilakukan setelah ada bukti kuat dan dilakukan pihak berwajib. Begitulah, jika hukum dibuat oleh manusia, akan banyak celah dan kelemahan. Lalu masih mau meragukan hukum Islam?
4. Anak adalah harta berharga. Alasan si pelaku dalam film ini adalah karena para wanita yang menjadi korban ini tidak memperdulikan anak mereka. Sibuk bekerja dan menitipkan anak di panti. Pun dia memiliki masa kelam dengan ibunya. Dia menjadi sensitif dengan para orang tua yang menelantarkan anaknya dan ingin menghabisi satu per satu. Semacam penyakit ketagihan. 
Namun lagi-lagi kenapa harus dengan cara membunuh? Ide positif yang dieksekusi dengan solusi negatif. 
5. Dan lain-lain silahkan tonton dan simpulkan sendiri. 

Melihat film ini, dan kebanyakan film lain, semakin membuat saya sadar bahwa ajaran dan syariat Islam adalah yang paling benar. Islam membuat suatu tatanan masyarakat yang aman dan damai. Menyelesaikan masalah dengan sebaik-baik solusi, tentu karena yang membuat undang-undangnya adalah Sang Pencipta sendiri, Allah yang Maha Mengetahui. Membuat para manusia yang hidup menyadari arti kehidupan. Tidak hampa hanya menjalani hari tanpa makna. Masihkah ingin menerapkan undang-undang lain dalam kehidupan kita? 

At least, menonton film, apapun itu, hendaknya tidak menjadi sekedar aktifitas hiburan tanpa melihat nilai yang ingin disampaikan. Jangan biarkan anak-anak dan remaja kita menonton sesuatu yang tidak sejalan dengan agama, terlebih ketika mereka belum bisa membedakan yang benar dan salah. Wallahu a'lam. 

#JanganSekedarNonton 


Minggu, 30 November 2014

Something from Kenshin




Baru-baru ini dirilis serial live action dari Samurai X yang ‘Wow’ banget. Meskipun biasanya film yg diadaptasi dari komik pasti menimbulkan kritik dari penikmatnya karena kurang merasakan ‘feel’ yg greget, atau ada beberapa scene yg berubah dari cerita asal. Tapi terlepas dari itu semua, film ini sukses menggiring emosi dan imajinasi penonton ke era samurai yg menyeramkan.
Koreo pedang yg disuguhkan film ini begitu memukau. Kecepatan dan kelincahan permainan pedang dari para samurai membuat mulut menganga. Zaman itu memang pernah ada.
Dari tiga serial yang saya tonton, hal yg paling mengharukan ketika sang Guru dari pembunuh legendaris muncul dan turut andil dalam menyelamatkan dan membantu sang ‘Battosai’ untuk mengalahkan musuhnya. Sebuah jalinan emosi yg unik dan mengharukan. Entah kenapa tanpa sadar saya menitikkan air mata.
Sebuah pertanyaan terbersit. ‘Kenapa ada murid yg luar biasa hebat?’
Jawabannya hanya satu. Karena ada guru-guru hebat di belakang mereka. Yang mendidik dengan hati. Saya benar-benar spechless dengan metode sang Guru ketika mengajarkan jurus ‘High Heaven’. Dialog-dialog yang membangkitkan jati diri. Ketegasan, ketulusan, ketajaman. Saya selalu mengagumi tiga perpaduan itu. Seseorang berjiwa petualang, petarung, tapi lembut hati. Cool!
Apalagi pada adegan ketika Kenshin telah menyelesaikan pelajaran jurus terakhirnya, dan berpamitan pada sang Guru untuk menghadapi musuh yg sangat kuat. Entah dia sanggup menghadapinya atau tidak. Dari semua sakit, perih dan kedisiplinan yang sudah dia pelajari. Dari semua pengalaman dan perjalanan yg ia lalui bertahun-tahun. Ini akan menjadi yg terakhir dan terberat.
Gurunya hanya berpesan, “Stay Alive.” Melepas murid satu-satunya yg telah mewarisi semua ilmunya. Melepas seseorang yg telah ia tempa sejak belia. Dengan raut wajah yg tak bisa diartikan. Dengan berat hati. Sukses sudah dia meluncurkan air mata saya. So sweet sekali.
Jurus High Heaven, kata kuncinya adalah bertahan hidup apapun yg terjadi dan jangan pernah berfikir menyerah dan menganggap waktu kematian telah datang. Bertahan hidup. Nyawamu sangat berharga.
Terkadang jurus-jurus tingkat tertinggi hanyalah prinsip pelengkap yg merupakan aplikasi, bukan teori. Karena sebanyak apapun teori, dia tetap perlu diasah dengan pengalaman dan kematangan.
Menonton film ini membuat saya sadar, tidak ada pencapaian apapun yg instan. Ke-instan-an tak pernah menjanjikan apapun. Perlu darah, keringat, luka, jatuh untuk bisa menjadi ‘tangguh’.
Semangat dan kegigihan yg tak kenal menyerah.

Mengapa tak lagi di zaman ini kita temui murid-murid yg tangguh?
Karena semakin kesini guru-guru yg tulus sudah hampir punah. Niat yg mulia tergadaikan dg gaji. Tanpa peduli apakah muridnya telah menyerap apa yg ia sampaikan.
Ilmu yg terucap hanya bersumber dari lisan. Bukan lagi komunikasi hati ke hati. Padahal prinsipnya, apa yg dari hati, akan sampai ke hati.
Kita bisa lihat betapa zaman dahulu hidup para ilmuwan, ulama besar. Tujuan akhir pencarian ilmu mereka bukan selembar ijazah yg dilaminating, tapi bagaimana mereka bisa berkontribusi dalam membentuk peradaban.
Ah.. betapa rindunya kita pada pencari ilmu,,,
Betapa rindunya pada sosok guru yg tulus dan bijak,,,
Semoga suatu saat, rindu itu terobati.

Minggu, 09 November 2014

He's 13th of June

Ini tentang waktu ...

Tentang 13 yang selalu kutunggu setiap tahun ...

Tentang seseorang yang ku hormati...

Dan telah pergi ...

Setiap kutanya orang lain lagi dan lain lagi tentangnya ... selalu ada yang baru.(kayak iklan aja).

Sepertinya setiap orang punya opini tersendiri tentang kisah hidupnya. Saya pernah mengulasnya ditulisan beberapa tahun sebelumnya, tentang sifatnya dan semua tentangnya. Saya pikir itu sudah banyak dan cukup. Tapi saya salah, kenyataanya tidak.

Baru ini ketika saya telpon ibu saya, beliau berkata, " Tirulah Jidimu itu (kakek). Beliau tidak pernah meninggalkan sholat malam meski safar (bepergian) sekalipun." Beliau bukan orang pesantrenan, tidak pernah mengenal bangku sekolah lebih-lebih sekolah agama. Tidak pernah tahu hukum-hukum atau dalil, tapi amalannya menggunung. Beliau hanya ingin mngerjakan apa yang ia tahu, berharap apa yang ia lakukan diterima oleh sang Khaliq. Dengan segala kerendahan hatinya dan kebodohannya berharap kakinya menyentuh surgaNya dengan cara yang sangat sederhana. Dengan keterbatasan ilmunya dia terus berlalri kencang menggapai ridhoNya sedang aku dan mungkin banyak orang lain yang dijejajli berbagai macam ilmu agama terseok-seok di jalan Nya.

Aku malu pada diriku sendiri. Dengan keterbatasannya dan kesederahanaanya beliau selalu terbuka dengan semua ilmu yang ia dapatkan. Beliau selalu bilang, "Saya suka kalau ada orang yang memberitahu saya bagaimana seharusnya saya beragama dan hidup menjalankan agama ini. Selama ini saya hanya melakukan apa yang saya tahu, berharap Allah berkenan dengan apa yang saya kerjakan."

Saya merindukannya, kehadirannya, nasihatnya, dan keteguhannya. Betapa keinginannya untuk melihat salah satu cucunya fasih ilmu syar'i yang mendorongku berjalan sejauh ini,. Jika tidak mungkin telah lama kutinggalkan jalan ini. (bukan berarti ingin berpaling ke jalan yang tidak benar, disiplin ilmu toh beragam)

But finally, i'm here, in place that you want me to be.

Meski nantinya saya tak bisa sebaik beliau, paling tidak, saya ingin berjalan dibelakangnya, menjadi orang-orang yang melakukan apapun yang bisa dilakukan agar berguna. Semoga



#SuperGrandPa

Minggu, 19 Oktober 2014

Zakat Profesi Vs Wakaf

Akhir-akhir ini ada wacana baru bernama zakat profesi. Suatu penemuan baru dalam dunia fiqih yang dikemas untuk menyalurkan harta para konglomerat yang tak terbatas kepada fakir miskin yang setiap hari jantungan memikirkan apa kiranya yang bisa dimakan esok hari.
Zakat dengan ketentuannya 2,5% dinilai tidak bisa menjawab kesenjangan sosial yang kian hari kian jauh tak terjamah.
Sangat tidak adil kiranya pengusaha yang memiliki 12 mobil, 12 rumah, 12 apartemen, tidak mendapat tanggung jawab zakat apapun selain zakat fitrah dan zakat mal. Sedang harta mereka berlipa-lipat banyaknya dibanding zakat yang tidak seberapa. Sementara petani yang berterik-terik matahari, dengan kerja keras yang tidak sebanding dengan hasilnya, dikenai zakat fitrah dan zakat pertanian. Tidak adil bukan?

Sebagian besar ulama memilih 'kontra' dengan solusi ini, dan mengatakan Islam masih mempunyai banyak cara untuk menyedot kekayaan mereka agar bisa dialirkan kepada mereka yang membutuhkan semisal Infaq, Shadaqah, Wakaf, Hibah, dan lain-lain.

Namun, para penggagas ide ini berdalih lagi, bahwa karakteristik 'ngeyel' yang menjamur di masyarakat sekarang sangat menyulitkan. Mereka cenderung tidak akan mengerjakan ibadah atau amalan jika tidak berlabel 'wajib' seperti shalat, puasa, zakat dll. Bagi mereka, yang berlabel 'sunnah' hanyalah hiasan semata yang akan dilaksanakan kapan-kapan jika ingat, jika sempat.
Jangankan untuk menyempatkan diri menoleh pada yang sunnah, mereka tidak sungkan bermain kucing-kucingan dengan hal-hal wajib semisal zakat. Mengurangi jumlah harta dengan berbagai cara agar tidak mencapai nishob dan terlepas dari kungkungan zakat.
Sungguh, padahal kematian tidak akan kucing-kucingan. Akan datang terang-terangan.

Ide ini sekilas sungguh segar di tengah sahara kemiskinan yang tidak terpecahkan. Membawa penyelesaian yang diharapkan mampu menjembatani kesenjangan sosial yang begitu memiriskan.
Bagaimana mungkin ada orang-orang yang masih berani menaiki mobil milyaran rupiah sementara tetangganya, warga kampungnya, masih ada yang kelaparan.

Tapi coba tengok lagi faktanya, sebagian besar ulama cenderung tidak setuju dengan solusi ini?
Apa gerangan yang dipermasalahkan?
Syaikh Wahbah Zuhaili contohnya. Seorang ulama fiqih kontemporer kenamaan yang menulis kitab 'Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu', mengatakan bahwa tidak ada produk baru bernama zakat profesi. Beliau mengatakannya dalam kunjungannya ke Indonesia di sebuah forum ilmiah ketika salah seorang penanya bertanya perihal zakat profesi
Kenapa? Faktanya ini untuk kemaslahatan ummat.

Ternyata solusi ini masih memiliki celah yang sangat jelas. Diantaranya :
  • Zakat dengan namanya dan konsekuensinya adalah salah satu rukun dari Rukun Islam. Memiliki peraturan dan syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya yaitu Nishab dan Haul. Dan jika 'profesi' disandarkan kepada zakat yang berkedudukan wajib, maka 'zakat profesi' menjadi wajib, tidak boleh tidak harus diterapkan, dan yang meninggalkannya akan tertimpa dosa.
    Ini menjadi kurang serasi dengan tujuan asalnya yakni pengaliran dana berlebih kepada yang membutuhkan. Dan konsekuensi dosa yang mengekor dibelakangnya seakan sebuah solusi yang mengatasi masalah dengan masalah yang lebih besar.
  • Ada pondasi zakat yang dibongkar disini yakni Nishab dan Haul. Seorang karyawan yang gaji bulanannya 10 juta per bulan dalam matematika zakat profesi menjadi terkena 'zakat', dan wajib mengeluarkan zakat dari gajinya. Padahal batas nishab adalah 85 gram emas yang jika kita misalkan sekarang 1 gram emas dengan Rp. 500.000,00 maka nishabnya adalah Rp. 42.500.000,00. (Empat puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Dan gaji karyawan tadi belum mencapai nishab, apalagi haul.
    Namun dipaksakan untuk terkena zakat dengan asumsi bahwa jika gajinya 10 juta per bulan maka dalam satu tahun dia akan mempunyai uang Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
    Pada hakikatnya jumlah itupun belum dikurangi kebutuhan hidupnya, dan masih dalam hitungan kotor yang belum pasti pula wujudnya. Tidak ada yang menjamin orang tersebut masih akan hidup setahun ke depan. Harta tersebut bahkan belum ditimbun. Apa yang ditimbun, sedang sejatinya dia belum ada dalam genggaman. Sementara ayat yang menyerukan kepada zakat maal menggunakan kata (كنز) kanzun yang artinya menimbun. Dalam hal ini terkesan sedikit dipaksakan.
Wacana ini diibaratkan seperti mengacak-acak kembali tatanan yang sudah pas. Men-'dedel' kembali jahitan yang sudah rampung.

Lalu apakah Islam tidak mempersiapkan hal ini jauh-jauh hari? Berasumsi bahwa zakat tidak menjawab tantangan zaman seakan mengatakan bahwa agama ini belum sempurna.
Mari kita berpaling pandang sedikit pada jajaran lain dari aliran harta semisal wakaf.
Mungkin di negara kita sistem wakaf ini belum terlalu banyak diminati dan kurang familiar. Namun ada satu contoh nyata hal ini sukses berlaku di Indonesia dan menjadi jembatan kokoh yang menyambungkan si kaya dan si miskin. Pondok Modern Gontor, yang sudah masyhur dengan kemegahannya, salah satu yang menerapkan sistem ini. Bukan sekedar sumbangan bulanan yang membuat pesantren ini mampu berdiri tegak. Ada wakaf produktif yang menopang kehidupan 'kota' Gontor. Wakaf sawah, peternakan, kebun.
Sejatinya wakaf adalah sesuatu lahan, bisnis, atau properti yang produktif yang diserahkan pemiliknya untuk Allah yang mana hasilnya digunakan untuk kemaslahatan ummat.

Contoh nyata lain dari kesuksesan wakaf adalah Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang mampu memberi beasiswa penuh kepada seluruh mahasiswanya yang berjumlah ribuan tak terhitung.
Azhar memiliki perusahaan-perusahaan besar dan saham-saham kuat yang menopang kekuatannya untuk bertahan hingga saat ini.

Bagaimana asal mula wakaf?
Pada masa Rasulullah, fenomena wakaf ini bermula pada kisah seorang shahabat mulia Umar bin Khattab. Pada perang Khaibar, shahabat Umar bin Khattab mendapat ghanimah sebidang kebun Kurma Ajwa. Kurma Ajwa adalah kurma ternaik yang harganya sangat mahal dan bervariasi. Di masa sekarang, satu kilogram Kurma Ajwa harganya dari 250 ribu - 450 ribu. Satu pohon Kurma Ajwa jika dipanen mencapai berat 500 kilogram. Jika kita misalkan satu kilogram kurma 300 ribu kali 500 kg, maka satu pohon Kurma Ajwa seharga 150 juta rupiah!!!
Bayangkan, shahabat Umar bin Khattab mendapat satu kebun! Beliau menjadi milyader mendadak.
Namun, jiwa shahabat yang berhati-hati kepada dunia membuatnya mengadu pada Rasulullah, hendak diapakan harta sebanyak ini?
Maka Rasulullah memberi saran kepada Umar agar mewakafkannya dan tidak boleh menjualnya. Sedang hasilnya diserahkan seluruhnya untuk kepentingan ummat.
See?

Pada dasarnya Syariat Islam telah memberikan sedetail mungkin solusi yang bisa diterapkan disemua zaman. Pada masa Umar bin Abdul Aziz yang karena makmurnya, sulit mendapatkan mustahiq zakat, mereka hanya berpegang teguh pada produk lama racikan asli syariat Islam.
Pengotak-atikan bangunan zakat sebenarnya meresahkan, karena ditakutkan malah merusak tatanan dan menimbulkan ketidak seimbangan yang lebih besar.
Mungkin jika zakat disini hanya tempelan agar menarik orang agar mengluarkan hartanya untuk yang membutuhkan, tidak ada masalah. Sayangnya zakat bukan perangko.
Ada aturan-aturan main yang harus diikuti.
Meski tidak dipungkiri, sistem ini sedikit banyak memberi efek yang positif. Namun, ada celah konsekuensi yang tidak bisa dijawab disini.

Bagaimana dengan 'ngeyel' yang menjamur?
Mungkin dunia sekarang sudah mendewakan 'kemasan' daripada isi. Maka tugas kita untuk mengemas wakaf, infaq, dan shadaqah agar lebih 'eye catching' dan 'kena' di hati. Hati-hati ngeyel inilah yang harusnya dibenahi agar lebih ringan membuka dompet kepada sesama.
Kita beralih dari bank-bank yang ada dunia, kepada bank akhirat yang 'bunga'nya jauh lebih tinggi dan tidak akan habis tujuh turunan.
Wallahu a'lam bish Showab.



Sabtu, 18 Oktober 2014

Kompor Bermerek 'Rumah Fiqih'


Lagi dan lagi..
Kami dibakar habis-habisan dengan tikaman demi tikaman kata yang kami sangat tahu kebenarannya. 
Dan mirisnya, kami sangat tahu jika kami sangat salah dalam hal ini. 
Ibarat oven, kami dipanaskan sampai ke tulang-tulang. Lunak dan leleh betul. 
Hanya dengan sebuah pernyataan : Istiqomah dengan jalan Fiqih sampai mati.
Serasa sebuah gunung ditimpakan di pundak kami. Ada amanah yang harus disampaikan, Ada tanggung jawab untuk terus meningkatkan kualitas diri. Ada begitu banyak hal yang dikorbankan. Hari-hari yang akan sangat akrab dengan perjuangan dan kepayahan.

Terkurung dalam gua...
Kedengarannya seperti kera sakti. Kami mengurung diri kami dalam gua terpencil yang kami bangun sendiri. Dihiasi dengan aura kesesatan berfikir yang menyelimuti. Entah tawadhu' yang kebablasan, atau minder yang mencari pembenaran. Entah ketidak percayaan diri yang dipelihara, atau sikap hati-hati yang tidak pada tempatnya. 
Tapi kalimat sederhana tadi, yang diteriakkan dengan sangat halus, melempar kami dari pertapaan abadi di dalam tempurung.  Hancur sudah, berkeping-keping. Kesadaran yang sangat menyadarkan. (Semoga bukan kesadaran sambal!) 

Tameng yang salah tempat...
Ada sebuah ayat yang menjadi tameng kuat untuk membenarkan kediaman kami. Sebuah ayat yang mengecam para penyampai ilmu, mengajak kepada kebenaran, namun mereka sendiri tidak mngerjakan apa yang mereka serukan. Celakalah! Celakalah!
Di neraka kelak mereka diseret ke neraka dengan isi perut yang memburai. Menelan ludah sendiri, istilah kerennya. 
Tameng yang kuat bukan? 
Lihat betapa para shahabat sangat berhati-hati dalam menyampaikan ajaran agama. Lebih baik diam jika tidak tahu pasti kebenarannya. 
Tapi lihat lagi, telaah lagi, perhatikan lagi, mereka memilih sikap itu karena mereka tinggal dikalangan para shahabat yang kualitas keshalihannya tidak diragukan. Kondisi pada masa itu aman. Konsumsi masyarakatnya adalah iman dan imu. Jika seorang shahabat memilih diam, maka masih ada banyak shahabat lain dengan kapasitas ilmu yang mumpuni untuk memberi pencerahan. 
Pertanyaannya adalah, apakah kondisi itu bisa disamakan dengan keadaan kita sekarang? Ketika kerusakan karena pelanggaran syariah bukan lagi barang baru di tengah-tengah kita. 
Mari jawab dalam hati masing-masing. 

First step it's always difficult...
Sudah mejadi rumus umum, langkah awal memang selalu sangat berat. Langkah pertama dari langkah ke-seribu. Pasti pesimis yang lebih dulu muncul. Tapi yang sering kita lupa, langkah ke-seribu ada karena kita menapaki langkah satu demi satu. Selangkah demi selangkah. Tidak ada kesuksesan yang instan. Boleh cek disemua supermarket, tidak akan ada! 
Hati kecil kami selalu seakan bermimpi ketika melihat orang-orang hebat. Dalam benak selalu bertanya 'Kapan kami akan sampai disana?' 
Tapi kami lupa bahwa mereka pun berawal dari tempat dan start yang sama seperti kami-kami ini. Bedanya, mereka melangkah tanpa mempertanyakan apa yang akan ada di depan. Sedangkan kami bertanya-tanya di garis start, dimana finishnya, tanpa berani melangkah. 
Bedanya, mau ke garis finish atau tidak? 
Jangan dilihat kesuksesan mereka sekarang, tapi lihatlah apa yang telah mereka lalui dan korbankan untuk mencapai titik ini.

Akan selalu tersandung...
Tersandung ada berbagai macam jenis. Tersandung yang menjatuhkan, dan memalingkan. Tersandung yang menjatuhkan bisa karena faktor pribadi yang lemah tekad, atau mungkin faktor eksternal yang tidak bisa disebutkan banyaknya. Membuat kita serasa ingin berhenti di tengah jalan. Menyerah!
Tersandung yang memalingkan, yang banyak terjadi adalah kebutuhan hidup. Menjadi pengemban ilmu, tidak bisa dikomersilkan. Khususnya ilmu agama. Serasa tidak layak ilmu agama dikaitkan dengan ukuran duniawi. Tapi hidup di dunia tetap harus berjalan. Akhirnya memilih untuk bergeser ke persimpangan lain. Menjalani aktifitas yang jauh dari ilmu yang dipelajari. Ilmunya menjadi stag, tidak tersalurkan. 
Namun sandungan sendiri ada fungsinya. Agar melihat ke bawah. Umumnya orang tersandung akan melihat ke bawah. Introspeksi, rem sebentar, berfikir ulang. Ada strategi yang harus diganti. Ada teguran yang mendewsakan. Ada peringatan bahwa di atas  langit masih ada langit, jangan merasa puas diri. 

The right man in the right place... 
Kebanyakan dari kami berada di tempat ini karena kecelakaan yang membawa anugerah. Hingga kami masih merasa seakan tersasar di jalan yang benar. Melaluinya dengan tanpa target karena merasa 'salah jurusan' atau punya ketertarikan di bidang lain.
Namun sepertinya sudah bukan masanya lagi kita memikirkan diri sendiri, memikirkan kepuasan dan kehobian yang tidak kesampaian ketika ada tanggung jawab di depan mata. 
Hiduplah untuk Allah, Allah akan membuka semua jalan untukmu. 
Kesimpulannya, kami tidak tersasar, kami dipilih! 
Maka pantaskanlah diri dijajaran yang terpilih! 

Permisalan...
Logika kami masih ingin mencari pengecualian rasanya. Namun kelu sudah ketika dihajar oleh permisalan yang menampar! 
Jika ada seorang dokter yang dihadapkan dengan pasien yang sekarat. Dia tahu bagaimana cara untuk menyelamatkannya. Namun memilih diam, karena takut salah bertindak. Tidak ingin mengambil resiko. Lalu menyaksikan sang pasien mati begitu saja dihadapannya. Padahal jika dia bertindak, kemungkinan selamatnya lebih besar. Bukankah dokter itu secara tidak langsung menghantarkan sang pasien kepada ajalnya? 
'Itulah kalian, Seorang yang tau ilmunya, tapi diam saja ketika orang lain butuh, dan membiarkan mereka dalam kesesatannya, dan masih bisa tidur nyenyak, tidak ambil pusing.'
Jleb! Oh maaaaaaaaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!! rasanya, ingin sembunyi ke dasar bumi sejenak!!!

Rabbi tunjuki kami...
Kami sudah di garis start, entah menunggu aba-aba, atau belum kuat tekad untuk memulai, atau bahkan tidak tahu harus memulai darimana. (Melangkah sajaa....!!! Banyak alasan!)
Tunjuki kami kebenaran, dan anugerahi kemampuan untuk menjalankannya, mudahkan...
Tunjuki kami kebathilan, dan jauhkan kami sejauh-jauhnya...

HHG (Hangat-hangat Gosong) #BukanJudulSinetron

Rabu, 15 Oktober 2014

'Kiamat' Kecil

Kita tidak punya kuasa, untuk tahu apa yang akan terjadi esok, satu jam kemudian, atau bahkan sekedar 5 detik ke depan.
Pengetahuan tentang waktu hanya Allah yang tahu.

Mungkin ini kejadian yang sudah sangat akrab di telinga. Biasa saja. Sangat Familiar. Tapi kali ini lebih ini istimewa dan 'kena' banget karena saya menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri. Bukan sekedar menonton dari kotak segi empat.

Jum'at, 26 September 2014
Malam itu tenang, hening, tidak ada perasaan apapun akan terjadi sesatu yang 'so panic'. Manusia-manusia sibuk dengan rencananya, menyusun agenda beberapa jam ke depan. Akan begini, akan begitu, seakan itu akan sangat mungkin terlaksana. Sekitar jam 21.00 WIB, seorang teman yang kebetulan sedang mengerjakan tugas di kos kami mencium bau asap, seperti sesuatu terbakar. Kami yang merupakan penghuni menanggapi santai, karena memang sudah biasa ada yang bakar sampah di jam-jam segitu.
Saya sendiri sedang menyusun rencana, akan mngerjakan tugas tengah malam, dan berencana tidur dulu sejenak.

Hening, sepi. Malam dengan ketenangannya meraja.
Pukul 23.00 kira-kira, ada suara kecil, 'KEBAKARAAANN'... Saya yang waktu itu belum terpejam, setengah tidak percaya. Barangkali isengnya tukang sebelah rumah saja. Kebetulan sebelah rumah kami sedang renovasi rumah dan tukang-tukangya suka nyapa-nyapa tidak penting.
Masih bersantai ria, tiba-tiba teman dari kamar lain berteriak.. "Teman-temann... keluaarrr.. kebakaraannn..!!!"
Saya keluar kamar untuk meyakinkan. Semua sibuk berpakaian rapi, membawa barang berharga yang bisa dijangkau. Saya masih bengong-bengong entah apa yang akan dilakukan. Kaki serasa terpaku di ubin. Dalam benak masih bertanya, "Dimana sih kebakarannya? Kok tidak ada ramai suara warga."
Semua teman-teman sudah keluar, sibuk dengan diri masing-masing.
Tak lama kemudian warga berdatangan, saya sudah panik, karena sudah tinggal sendirian saja di dalam rumah. Menyambar yang terdekat yang bisa dipakai, Mukenah. Menyambar handphone, bergegas keluar.
Ternyata  rumah di samping tetangga saya sudah dikuasai api. Sudah sampai atap, dan hampir mencolek rumah tetangga pas saya. Entah apa penyebabnya, saya bergegas mematikan Meteran Listrik. Waspada jika penyebabnya adalah arus pendek.
Saya lihat teman-teman membawa ransel berisi barang-barang berharga. Hanya saya yang keluar rumah dengan tangan kosong. Akhirnya saya masuk lagi, meraba-raba dalam gelap, menyelamatkan yang bisa diselamatkan.

Di tengah kekacauan itu, semua sibuk dengan diri masing-masing. Di tengah kepanikan itu, semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Komentar-komentar yang terlontar spontan, semuanya begitu alami. Menggambarkan karakter pribadi-pribadi malam itu dengan sebenarnya, tanpa polesan.
Tiba-tiba saya terfikir, ini baru kebakaran rumah. Rumah tetangga, bukan rumah sendiri. Sudah begini paniknya. Bagaimana jika kiamat nanti?
Ketika Ibu lupa Anaknya, Anak lupa Ibunya, Suami Istri pun seperti asing, Ayah pun lari menyelamatkan diri sendiri. Tidak ingat apapun kecuali diri sendiri.
Selama ini segenting apapun kejadian yang ada, entah tsunami, gempa bumi, kita masih mendengar kisah, bagaimana ibu berkorban untuk anaknya, dan sebagainya.
Kiranya kondisi macam apa yang bisa membuat pertalian darah menguap seakan tak ada harganya?
Segenting apakah kondisi yang akan menanti?
Langit di gulung, bagaimana bentuknya? Bumi mengeluarkan isinya? Gunung-gunung seperti anai-anai? Kondisi yang 'out of imagination'.

Entah bagaimana kejadian itu seperti sebuah peringatan nyata bagi jiwa-jiwa yang lalai. Seperti gema yang berteriak di dalam hati, 'waktunya sudah semakin dekat'. Ketika dosa-dosa masih mungkin untuk dihapus, sebelum matahari pindah terbit dari barat. Ketika masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri, menyiapkan bekal menuju kampung halaman.
Yuk mari,, semakin merapat pada-Nya.
Jika bukan karena rahmat-Nya, karena kasih sayang-Nya..
Kita hanya makhluk-makhluk hampa tanpa cahaya.
Namun Allah beri kita lentera iman yang menerangi jalan menuju kampung akhirat yang kekal.
Maka jangan sia-siakan.  Yuk, bersama, berjamaah menuju kebaikan.

#introspeksi-say'No'toTaubatSambal

Rabu, 23 April 2014

Realisasi Yakin

Sepertinya sudah lama sekali tidak ngopi disini. Entah bumi yang berputar terlalu cepat atau memang hari semakin pendek, atau jadwal saya yang sekarang makin padat. (halah gaya!)
Yang pasti ngerumpi bagi perempuan adalah kewajiban yang tidak mengenal usia. Tinggal ditilik sekarang ngerumpinya soal apa. Ngerumpi harga sayuran yang makin melangit, model baju terbaru, arisan, jadwal pengajian, bahkan  ngobrolin berita tivi yang makin hari makin gak jelas.  Atau mulai pindah ke topik-topik yang sedikit agak berat. (biar ibu-ibu tetap gak bolek ketinggalan jaman ya!)
FYI_saya belum ibu-ibu dan udah kegandrungan ngerumpi :)

Beberapa waktu lalu saya pernah cerita tentang 'visi' aneh ketika mendaki dataran lurus licin yang mustahil dijangkau. (bisa di cek tulisan sebelumnya yang berjudul 'yakin')
Boleh dibilang saya merasakan 'sense' dari mimpi itu akhir-akhir ini. Ketika saya mengenal jurusan yang saya anut ini, saya merasa mustahil untuk ukuran dan standar diri yang ugal-ugalan menyelami mata kuliah maha berat yang rasanya kalau saya pikul langsung kena encok stadium akut dalam beberapa detik.
Saya mulai meraung-raung di depan diktat-diktat kuliah yang saking tebalnya bisa buat nimpuk maling. Belajar segan, tidur tak tenang, perut mual-mual dan gejala kronis lain yang turut mengekor.

Ketika saya duduk di sudut kelas (tempat favorit saya) melihat semua orang mengangguk-angguk tersenyum penuh cinta membuat saya bertanya-tanya, kenapa baris-baris kata ini begitu mudahnya masuk ke kepala mereka??? Sementara kepala saya melihat itu seperti virus yang ketika belum masuk saja sudah dikarantina duluan dan siap-siap untuk di buang.
Jelas saja saya nyasar di kuliah syariah yang semua dosennya ngoceh bahasa Arab sedangkan bahasa Arab saya amat sangat payah sampai tahap mengerikan. Bagaimana tidak stress??

Entah salah makan apa, berjalannya waktu tampaknya memberi perubahan. Atau benar kata pepatah cinta itu ada karena terbiasa. Diktat penimpuk maling itu sepertinya bertransformasi menjadi kepingan mozaik yang ketika kita menemukan satu kepingan, kita semakin penasaran untuk segera menemukan kepingan agar teka-tekinya segera terungkap. Seperti habis memakan makanan asin, saya ketagihan meminumnya, dan tidak merasa puas.
Awalnya belajar terasa mustahil, namun ketika saya mengabaikan hal-hal tidak penting seperti kecemasan akan ujian, tugas, dan semuanya, saya justru menikmati itu.
Ujian tetap menjadi fase yang paling serius dalam hari-hari saya tapi tidak membuat saya pusing apa hasilnya. Biarlah ujian hanya sistem seperti umumnya sistem pendidikan yang mewajibkan muridnya lulus mata pelajaran sesuai nilai standar yang ditentukan. Buat saya yang penting proses belajarnya, toh ujian tidak menentukan kesuksesan hidup seseorang. Kalau perlu saya pingin membuat sekolah yang tidak perlu ada ujiannya, tapi murid diajari bagaimana mencintai ilmu. Bukankah cinta itu punya kekuatan yang mampu membuat air laut terasa seperti es teh??

Dan saya merasakan perasaan itu. Mendaki kemustahilan dengan mata tertutup dan menikmati ritmenya. Peduli apa dengan apa yang menunggu di depan sana, saya percaya usaha yang baik akan menghasilkan hal-hal yang baik. Kalaupun  nantinya ada kegagalan, itu semua proses pembelajaran. Karena kematangan sikap dan sifat tidak bisa didapatkan di bangku sekolah, melainkan dari kerasnya alam. Tidak bisa secara instan, diseduh, lalu selesai siap dinikmati. Butuh puluhan tahun untuk menjadi bijak dalam bersikap, berfikir, dan bertutur.

Dan yang paling menyenangkan, saya menemukan cahaya warna-warni disekitar saya yang membuat hidup terasa begitu ringan. Membuat kebaikan terasa mungkin. Mungkin saya hanya bulan bagi matahari yang hanya memantulkan cahaya, tidak bercahaya dari asalnya. Namun apapun itu, semuanya tetap indah. Kami bersama-sama menuju lebih baik. Bukankah ketika ingin lebih baik kita butuh lingkungan dan teman-teman yang baik?
Saya menikmati setiap detik, semuanya.
Saya pikir ini bisa diterapkan untuk teman-teman, bebaskan semua beban, lepaskan, apapun yang ada di depan mata nikmati, hadapi. Jika tidak sekarang, suatu saat pasti ada hikmahnya.

Alhamdulillah 'ala kulli haal

Jadi ibu-ibu, siap untuk meng-Upgrade tema ngerumpi kita?